Translate

Rabu, 17 April 2013

HAM

Pengertian serta contoh dan cara menyelesaikan kasus Pelanggaran HAM di Indonesia

*Pengertian HAM
        HAM / Hak Asasi Manusia adalah hak yang melekat pada diri setiap manusia sejak awal dilahirkan yang berlaku seumur hidup dan tidak dapat diganggu gugat oleh siapa pun. Selain itu HAM juga diartikan sebagai hak yang bersifat asasi. Artinya, hak-hak yang dimiliki manusia menurut kodratnya yang tidak dapat dipisahkan dari hakikatnya sehingga sifatnya suci. Sebagai warga negara yang baik kita mesti menjunjung tinggi nilai hak azasi manusia tanpa membeda-bedakan status, golongan, keturunan, jabatan, dan lain sebagainya.
Melanggar HAM seseorang bertentangan dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Hak asasi manusia memiliki wadah organisasi yang mengurus permasalahan seputar hak asasi manusia yaitu Komnas HAM. 

**Contoh-contoh Pelanggaran HAM di Indonesia
1.Tewasnya Munir (7 September 2004)
Tragedi ini bermula saat Munir menuju Amsterdam untuk melanjutkan studi program master (S2) di Universitas Utrecth Belanda. Munir naik pesawat Garuda Indonesia GA-974 menuju Singapura untuk kemudian transit di Singapura dan terbang kembali ke Amsterdam. Namun dua jam sebelum mendarat di bandara Schipol Amsterdam Munir telah meninggal dunia dalam pesawat dan di indikasi karena Keracunan.

2. Kasus Bom Bali (2002)
Peristiwa peledakan bom oleh kelompok teroris di Legian Kuta Bali pada tanggal 12 november 2002, yang memakan korban meninggal dunia 202 orang dan ratusan yang luka-lua, semakin menambah kepedihan kita. Apalagi yang menjadi korban tidak hanya dari Indonesia, bahkan kebanyakan turis manca negara yang datang sebagai tamu di negara kita yang mestinya harus di hormati dan dijamin keamanannya. 
3. Kasus tanjung Priok (1984) 
Kasus tanjung Priok terjadi tahun 1984 antara aparat dengan warga sekitar yang berawal dari masalah SARA dan unsur politis. Dalam peristiwa ini diduga terjadi pelanggaran HAM dimana terdapat ratusan korban meninggal dunia akibat kekerasan dan penembakan.
4. Peristiwa Tri Sakti Dan Semanggi (1998)
Tragedi Trisakti terjadi pada 12 Mei 1998 (4 mahasiswa meninggal dan puluhan lainnya luka-luka). Tragedi Semanggi I terjadi pada 11-13 November 1998 (17 orang warga sipil meninggal) dan tragedi Semanggi II pada 24 September 1999 (1 orang mahasiswa meninggal dan 217 orang luka-luka).

5. Kasus Ambon (1999) 
Peristiwa yang terjadi di Ambon ni berawal dari masalah sepele yang merambat ke masalah SARA, sehingga dinamakan perang saudara dimana telah terjadi penganiayaan dan pembunuhan yang memakan banyak korban.
6. Kasus Pembantaian di Mesuji (April 2011)
Kasus ini bermula dari sengketa lahan perkebunan antara perusahaan perkebunan kelapa sawit PT SWA dengan Warga Mesuji yang terjadi di Desa Sungai Sodong, Mesuji, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan. karena sengketa ini terjadi pelanggaran HAM Berat.
Perih, luka, pedih dan miris rasanya kalau kita lihat video kasus pembantaian di mesuji banyak tubuh tanpa kepala, anggota badan kehilangan tubuhnya, kepala yang kehilangan tubuh dan kenapa kasus kayak gini masih saja terjadi di jaman yang semodern ini.
7. Peristiwa Aceh (1990)
Peristiwa yang terjadi di Aceh sejak tahun 1990 telah banyak memakan korban, baik dari pihak aparat maupun penduduk sipil yang tidak berdosa. Peristiwa Aceh diduga dipicu oleh unsur politik dimana terdapat pihak-pihak tertentu yang menginginkan Aceh merdeka.

       Pada hakikatnya “Hak Asasi Manusia” terdiri atas dua hak dasar yang paling fundamental, ialah hak persamaan dan hak kebebasan. Dari kedua hak dasar inilah lahir hak-hak asasi lainnya atau tanpa kedua hak dasar ini, hak asasi manusia lainnya sulit akan ditegakkan.

***Cara Menyelesaikan Kasus Pelanggaran HAM di Indonesia
1. Penyelesaian Pelanggaran HAM Di Pengadilan HAM
Hukum acara yang digunakan dalam Pengadilan HAM adalah Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP ) sepanjang tidak diatur secara khusus oleh UU No.26 Tahun 2000 (lex specialis derogat lex generalis). Adapun proses penyelesaian pelanggaran berat HAM menurut UU No.26 Tahun 2000 adalah sebagai berikut :
1.      Penyelidikan
Penyelidikan dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia ( Komnas HAM). Hal ini bertujuan adanya objektifitas hasil penyelidikan, apabila dilakukan oleh lembaga independen. Dalam penyelidikan, penyelidik berwenang:
·         Melakukan penyelidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang timbul dalam masyarakat yang berdasarkan sifat atau lingkupnya patut diduga terdapat pelanggaran berat HAM
·         Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang atau kelompok orang tentang terjadinya pelanggaran berat HAM serta mencari keterangan dan barang bukti
·         Memanggil pihak pengadu, korban atau pihak yang diadukan untuk diminta dan didengar keterangannya
·         Memanggil saksi untuk dimintai kesaksiannya
·         Meninjau dan mengumpulkan keterangan di tempat kejadian dan tempat lainnya jika dianggap perlu
·         Memanggil pihak terkait untuk melakukan keterangan secara tertulis atau menyerahkan dokumen yang diperlukan sesuai dengan aslinya
·         Atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa pemeriksaan surat, penggeledahan dan penyitaan, pemeriksaan setempat, mendatangkan ahli dalam hubungan dengan penyelidikan

2.      Penyidikan
Penyidikan pelanggaran berat HAM dilakukan oleh Jaksa Agung. Dalam pelaksanaan tugasnya Jaksa Agung dapat mengangkat penyidik ad hoc yang terdiri atas unsur pemerintah dan masyarakat. Sebelum melaksanakan tugasnya, penyidik ad hoc mengucapkan sumpah atau janji menurut agamanya masing-masing. Syarat-syarat yang harus dipenuhi sebagai penyidik ad hoc, yaitu :
·         Warga Negara Indonesia
·         Berumur sekurang-kurangnya 40 tahun dan paling tinggi 65 tahun
·         Berpendidikan Sarjana Hukum atau sarjana lain yang mempunyai keahlian di bidang hukum
·         Sehat jasmani dan rohani
·         Berwibawa, jujur, adil dan berkelakuan baik
·         Setia kepada Pancasila dan UUD 1945
·         Memiliki pengetahuan dan kepedulian di bidang hak asasi manusia

Penyidikan diselesaikan paling lambat 90 hari terhitung sejak tanggal hasil penyelidikan diterima dan dinyatakan lengkap oleh penyidik. Penyidikan dapat diperpanjang 90 hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai daerah hukumnya dan dapat diperpanjang lagi 60 hari. Jika dalam waktu tersebut, penyidikan tidak juga terselesaikan, maka dikeluarkan surat perintah penghentian penyidikan oleh Jaksa Agung.

3.      Penuntutan
Penuntutan dilakukan oleh Jaksa Agung. Jaksa Agung dapat mengangkat penuntut umum ad hoc yang terdiri dari unsur pemerintah dan masyarakat. Syarat untuk diangkat menjadi penuntut umum sama halnya dengan syarat diangkat menjadi penyidik ad hoc. Penuntutan dilakukan paling lama 70 hari sejak tanggal hasil penyidikan diterima.

4.      Pemeriksaan di Pengadilan
Pemeriksaan perkara pelanggaran berat HAM dilakukan oleh majelis hakim Pengadilan HAM berjumlah 5 orang, terdiri atas 2 orang hakim pada Pengadilan HAM dan 3 orang hakim ad hoc.
Syarat-syarat menjadi Hakim Ad Hoc :
·         Warga Negara Indonesia
·         Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
·         Berumur sekurang-kurangnya 45 tahun dan paling tinggi 65 tahun
·         Berpendidikan sarjana hukum atau sarjana lain yang mempunyai keahlian di bidang hukum
·         Sehat jasmani dan rohani
·         Berwibawa, jujur, adil dan berkelakuan baik
·         Setia kepada Pancasila dan UUD 1945
·         Memiliki pengetahuan dan kepedulian di bidang Hak asasi manusia

Perkara paling lama 180 hari diperiksa dan diputus sejak perkara dilimpahkan ke Pengadilan HAM. Banding pada Pengadilan Tinggi dilakukan paling lama 90 hari terhitung sejak perkara dilimpahkan ke Pengadilan Tinggi. Kasasi paling lama 90 hari sejak perkara dilimpahkan ke Mahkamah Agung.      

2.  Permasalahan dalam Penyelesaian Pelanggaran Berat HAM
Harapan besar lahirnya UU No.26 Tahun 2000 dalam penegakan Hak Asasi Manusia, namun kenyataannya hal tersebut belum bisa terlaksana secara maksimal sampai sekarang. Adapun salah satu penyebabnya adalah ditemukan beberapa kelemahan dalam undang-undang ini dan pelaksanaannya.
Kelemahan-kelemahan yang dimaksud, yaitu :
1.      Penempatan pengadilan HAM di dalam lingkungan Peradilan Umum  menjadikannya sangat    bergantung pada mekanisme birokrasi dan administrasi peradilan umum yang ditempatinya.
2.      Adanya Pasal dalam UU No.26 Tahun 2000 yang disalahartikan sehingga memungkinkan para pelaku untuk bebas. Contoh Pasal 35 ayat 1 yang berbunyi: Setiap korban pelanggaran HAM dan atau ahli warisnya dapat memperoleh kompensasi, restitusi dan rehabilitasi. Sehingga timbul anggapan bahwa pelaku pelanggaran hak asasi manusia dapat bebas dengan membayar kompensasi.
3.      Kurangnya keseriusan pemerintah dalam menyelesaikan pelanggaran HAM . Hal ini terlihat, banyaknya kasus-kasus HAM yang belum terselesaikan, bahkan hilang begitu saja.
4.      Adanya intervensi politik dalam penyelesaian pelanggaran berat HAM, karena terkadang kasus tersebut melibatkan penguasa. Dengan kata lain, tidak adanya objektifitas dalam penyelesaian pelanggaran berat HAM.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar